"Perumpamaan orang beriman yang membaca Al-Qur'an adalah bagaikan buah utrujah (jeruk), oromanya harum dan rasanya nikmat. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, tidak ada baunya dan rasanya manis. Perumpamaan seorang munafik yang membaca Al-Qur’an bagai raihanah (semacam bunga kenanga), baunya harum namun rasanya manis. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an bagai buah handzalah (antawali), tidak ada buanya dan rasanya pahit.” (Muttafaq Alaihi)
"Tidak ada satu kaum yang sedang membaca, mempelajari, dan mendiskusikan kitab Allah, kecuali para malaikat akan menaungi mereka, dan rahmat Allah akan tercurah kepadanya, dan sakinah (kedamaian) akan turun di atasnya, dan Allah akan sebutkan mereka pada makhluk yang ada di sisi-Nya.” (Ahmad dari Abu Hurairah).
“Sesungguhnya orang yang di hatinya tidak ada sesuatupun dari Al-Qur’an, maka ia bagaikan rumah rusak.” (At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas).
Saudaraku, alangkah angkuhnya kita ketika membiarkan Al Quran kita berdebu dan tak terbaca, atau bahkan kita belum mempunyai Kitab Petunjuk Hidup ini. Allah Azza Wa Jalla telah mmbrikan Al Quran kepada kita untuk dijadikan petunjuk dalam mnjalani kehidupan. Yakinlah akan keberkahan di dalamnya. Karena Al Quran adalah Kalam Allah, Kalam Tuhan yang Menguasai Semesta Alam
Semoga Keberkahan Hidup meliputi kehidupan kita semua, Amin
Rabu, 13 Januari 2010
Minggu, 10 Januari 2010
Kisah Penuh Hikmah : Hutan nya Monyet
Seekor anak monyet bersiap-siap hendak melakukan perjalanan jauh. Ia merasa sudah bosan dengan hutan tempat hidupnya sekarang. Ia mendengar bahwa di bagian lain dunia ini ada tempat yang disebut “hutan” di mana ia berpikir akan mendapatkan tempat yang lebih “baik”. “Aku akan mencari kehidupan yang lebih baik!” katanya. Orangtua si Monyet, meskipun bersedih, melepaskan kepergiannya. “Biarlah ia belajar untuk kehidupannya sendiri,” kata sang Ayah kepada sang Ibu dengan bijak.
Maka pergilah si Anak Monyet itu mencari “hutan” yang ia gambarkan sebagai tempat hidup kau Monyet yang lebih baik. Sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di hutan itu. Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika, si Anak Monyet itu secara mengejutkan kembali ke orangtuanya. Tentu kedatangan anak semata wayang itu disambut gembira orangtuanya.
Sambil berpelukan, si Anak Monyet berkata, “Ayah, Ibu, aku tidak menemukan hutan seperti yang aku angan-angankan. Semua binatang yang aku temui selalu keheranan setiap aku menceritakan bahwa aku akan bergi ke sebuah tempat yang lebih baik bagi semua binatang yang bernama hutan.” “Malah, mereka mentertawakanku.” sambungnya sedih. Sang Ayah dan Ibu hanya tersenyum mendengarkan si Anak Monyet itu. “Sampai aku bertemu dengan Gajah yang bijaksana,” lanjutnya, “Ia mengatakan bahwa sebenarnya apa yang aku cari dan sebut sebagai hutan itu adalah hutan yang kita tinggali ini!. Kamu sudah mendapatkan dan tinggal di m hutan itu!” Benar, anakku. Kadang-kadang kita memang berpikir tentang hal-hal yang
jauh, padahal apa yang dimaksud itu sebenarnya sudah ada di depan mata.”
Kita semua adalah si Anak Monyet itu. Hal-hal sederhana, hal-hal ada di sekitar kita tidak kita perhatikan. Justru kita melihat hal yang “jauh-jauh” yang pada dasarnya sudah di depan mata. Kita gelisah dengan karir pekerjaan, kita gelisah dengan sekolah anak-anak, kita gelisah dengan segala
rencana kehidupan kita. Padahal, yang pekerjaan kita sekarang adalah bagian dari karir kita. Padahal, anak-anak kita bersekolah sekarang adalah bagian dari proses pendidikan mereka dan hidup yang kita jalani adalah bagian dari rangkaian kehidupan kita ke masa yang akan datang.
Maka pergilah si Anak Monyet itu mencari “hutan” yang ia gambarkan sebagai tempat hidup kau Monyet yang lebih baik. Sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di hutan itu. Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika, si Anak Monyet itu secara mengejutkan kembali ke orangtuanya. Tentu kedatangan anak semata wayang itu disambut gembira orangtuanya.
Sambil berpelukan, si Anak Monyet berkata, “Ayah, Ibu, aku tidak menemukan hutan seperti yang aku angan-angankan. Semua binatang yang aku temui selalu keheranan setiap aku menceritakan bahwa aku akan bergi ke sebuah tempat yang lebih baik bagi semua binatang yang bernama hutan.” “Malah, mereka mentertawakanku.” sambungnya sedih. Sang Ayah dan Ibu hanya tersenyum mendengarkan si Anak Monyet itu. “Sampai aku bertemu dengan Gajah yang bijaksana,” lanjutnya, “Ia mengatakan bahwa sebenarnya apa yang aku cari dan sebut sebagai hutan itu adalah hutan yang kita tinggali ini!. Kamu sudah mendapatkan dan tinggal di m hutan itu!” Benar, anakku. Kadang-kadang kita memang berpikir tentang hal-hal yang
jauh, padahal apa yang dimaksud itu sebenarnya sudah ada di depan mata.”
Kita semua adalah si Anak Monyet itu. Hal-hal sederhana, hal-hal ada di sekitar kita tidak kita perhatikan. Justru kita melihat hal yang “jauh-jauh” yang pada dasarnya sudah di depan mata. Kita gelisah dengan karir pekerjaan, kita gelisah dengan sekolah anak-anak, kita gelisah dengan segala
rencana kehidupan kita. Padahal, yang pekerjaan kita sekarang adalah bagian dari karir kita. Padahal, anak-anak kita bersekolah sekarang adalah bagian dari proses pendidikan mereka dan hidup yang kita jalani adalah bagian dari rangkaian kehidupan kita ke masa yang akan datang.
Rabu, 06 Januari 2010
Kisah Penuh Hikmah : Siapa yang Mati
Suatu ketika ada seorang janda yang sangat berduka karena anak satu-satunya mati. Sembari membawa jenasah anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa menghidupkan kembali anaknya.
Sang Guru mengamati bahwa wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:
“Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada.”
“Itu saja syaratnya?” tanya wanita itu dengan keheranan.
“Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati.”
Dengan “semangat 45″, wanita itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat entusias, “Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!”
Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya: “Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?” “Oh, boleh saja,” jawab tuan rumah. “Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?” “Oh, ada, paman kami meninggal tahun lalu.” Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.
Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya. “Ayah kami barusan wafat…,” “Kakek kami sudah meninggal…,” “Ipar kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu…,” dan sebagainya.
Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain. Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan.
Pada penghujung hari, wanita ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mengucap lirih, “Guru, saya akan menguburkan anak saya.” Sang Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.
Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya?
Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: siapa yang tak mati?
Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita di atas.
Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi dengan pengertian yang benar akan dua hal:
(1) kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita, dan
(2) bahwasanya pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersumber dari dalam diri kita sendiri
Ya Allah Berilah Ketenangan dalam Jiwa kami, Berkahilah hidup ini
Lakukanlah sedikit kebaikan dengan membrikan hikmah cerita ini kepada teman-teman kita yang lain, Semoga ketenangan dan kesabaran hadir dalam jiwa kita.
Kembali ke Masjid dengan membawa ketenangan
Sang Guru mengamati bahwa wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:
“Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada.”
“Itu saja syaratnya?” tanya wanita itu dengan keheranan.
“Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati.”
Dengan “semangat 45″, wanita itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat entusias, “Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!”
Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya: “Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?” “Oh, boleh saja,” jawab tuan rumah. “Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?” “Oh, ada, paman kami meninggal tahun lalu.” Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.
Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya. “Ayah kami barusan wafat…,” “Kakek kami sudah meninggal…,” “Ipar kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu…,” dan sebagainya.
Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain. Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan.
Pada penghujung hari, wanita ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mengucap lirih, “Guru, saya akan menguburkan anak saya.” Sang Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.
Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya?
Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: siapa yang tak mati?
Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita di atas.
Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi dengan pengertian yang benar akan dua hal:
(1) kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita, dan
(2) bahwasanya pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersumber dari dalam diri kita sendiri
Ya Allah Berilah Ketenangan dalam Jiwa kami, Berkahilah hidup ini
Lakukanlah sedikit kebaikan dengan membrikan hikmah cerita ini kepada teman-teman kita yang lain, Semoga ketenangan dan kesabaran hadir dalam jiwa kita.
Kembali ke Masjid dengan membawa ketenangan
Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan
Rasulullah Muhammad SAW 02 Januari jam 18:33 Laporkan
Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.
Jawab:
Ada beberapa hal yang ditanyakan:
Pertama, masalah cium tangan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.
1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.
Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا
Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.
Sumber : http://ustadzaris.com/hukum-mencium-tangan-dan-membungkukkan-badan
Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.
Jawab:
Ada beberapa hal yang ditanyakan:
Pertama, masalah cium tangan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.
1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.
Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا
Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.
Sumber : http://ustadzaris.com/hukum-mencium-tangan-dan-membungkukkan-badan
Jangan saling mengejek
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS al Hujurat:11).
Terkait dengan ayat ada dua catatan kaki yang ada dalam terjemah DEPAG RI yaitu:
1. Jangan mencela dirimu sendiri, maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
2. Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti hai fasik, hai kafir dan sebagainya.
Ahmad ash Shawi al Maliki mengatakan, “Makna ayat adalah janganlah seorang itu mengolok-olok yang lain karena boleh jadi pihak yang diolok-olok itu lebih agung dan mulia dibandingkan pihak yang mengolok-olok. Ringkasnya tidaklah pantas muslim mengolok-olok saudaranya seagama bahkan semua makhluk ciptaan Allah. Boleh jadi yang diolok-olok itu lebih hatinya lebih ikhlas dan lebih bertakwa dibandingkan yang mengolok-olok. Para salaf shalih sangat luar biasa dalam melaksanakan kandungan ayat ini. Ada salah seorang salaf yang mengatakan, ‘Jika aku melihat seorang yang menetek pada anak kambing lalu aku mentertawakannya tentu aku merasa khawatir andai aku melakukan apa yang dia lakukan’.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, ‘Bencana itu terjadi gara-gara ucapan lisan. Andai aku mengolok-olok seekor anjing tentu aku khawatir kalau aku diubah menjadi seekor anjing’ (Hasyiyah ash Showi ‘ala Tafsir al Jalalain 4/143, terbitan Dar al Fikr).
Syeikh Abdurrahman as Sa’di mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang sebagian hak seorang mukmin dengan mukmin yang lain. Yaitu janganlah sekelompok orang mengejek sekelompok yang lain baik dengan kata-kata ataupun perbuatan yang mengandung makna merendahkan saudara sesama muslim. Perbuatan ini terlarang dan hukumnya haram. Perbuatan ini menunjukkan bahwa orang yang mengejek itu merasa kagum dengan dirinya sendiri. Padahal boleh jadi pihak yang diejek itu malah lebih baik dari pada pihak yang mengejek. Bahkan inilah realita yang sering terjadi. Mengejek hanyalah dilakukan oleh orang yang hatinya penuh dengan akhlak yang tercela dan hina serta kosong dari akhlak mulia. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seorang itu dinilai jahat jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR Muslim dari Abu Hurairah)” [Taisir al Karim al Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan hal 953, terbitan Dar Ibnul Jauzi].
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Jika telah diketahui bahwa manusia itu bertingkat-tingkat. Di antaranya manusia itu bertingkat-tingkat dalam masalah ilmu. Sebagian orang itu lebih berilmu daripada yang lain dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu alat yang sangat membantu untuk mengusai ilmu agama semisal ilmu-ilmu tentang bahasa Arab sebagaimana nahwu, balaghah dan yang lainnya.
Manusia itu juga bertingkat-tingkat dalam masalah rizki. Ada yang diberi rezki yang melimpah. Ada pula yang diberi rezki pas-pasan.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam akhlak. Ada yang memiliki akhlak luhur dan mulia, ada pula yang tidak demikian.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah bentuk fisik. Ada yang fisiknya sempurna, ada juga yang tidak.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah status sosial. Ada yang status sosialnya tinggi, ada pula yang biasa-biasa saja.
Apakah seseorang diperbolehkan untuk mengejek orang yang lebih rendah dalam berbagai hal di atas?
Jawabannya adalah firman Allah di atas.
Allah memanggil kita dengan nama iman agar sebagian dari kita tidak mengejek sebagian yang lain. Yang melebihkan sebagian orang atas yang lainnya adalah Allah. Sehingga konsekuensi dari mengejek orang yang lebih rendah adalah mengejek takdir Allah.
Hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ ».
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allahlah yang mengatur berjalannya waktu” (HR Muslim no 6003).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Manusia menyakitiku. Manusia mencaci waktu padahal aku adalah pengatur waktu. Akulah yang memperjalankan malam dan siang” (HR Bukhari no 4549 dan Muslim no 6000).
Mengapa kita ejek orang yang lebih rendah dibandingkan kita dalam masalah ilmu agama, harta, akhlak, kondisi fisik, status sosial, dan nasab? Bukankah di samping Allahlah yang memberikan anugrah kepada kita, Dia juga yang menakdirkannya untuk berada di bawah kita, dalam pandangan kita, dalam banyak hal?
Mengapa Allah melarang kita mengejek orang lain?
Jawabannya adalah betapa banyak orang yang pada saat ini mengejek orang lain, dalam lain kesempatan menjadi bahan ejekan. Betapa banyak orang yang saat ini pada posisi ‘berada’, esok hari berada pada posisi orang papa. Ini adalah suatu hal yang bisa kita saksikan dalam realita.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ». قَالَ أَحْمَدُ مِنْ ذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ.
Dari Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang mencela saudaranya sesama muslim karena sebab dosa yang pernah dia lakukan maka orang yang mencela tersebut tidak akan mati sampai melakukannya”. [*]
Ahmad bin Mani’, salah seorang perawi hadits, “Yang dimasudkan adalah dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya” (HR Tirmidzi no 2505 namun dinilai oleh al Albani sebagai hadits palsu).
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ ».
Dari Watsilah bin al Asqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menampakkan rasa gembira saat saudaramu sesama muslim menderita kesusahan. Hal itu menjadi sebab Allah menyayanginya dan menimpakan cobaan pada dirimu” (HR Tirmidzi no 2506. Hadits ini dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi namun dinilai lemah oleh al Albani).
Adalah kewajiban setiap orang untuk mempraktekkan adab yang telah Allah ajarkan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 37-38, terbitan Dar Tsuraya).
[*] Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (3/277) mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Ash Shoghoni dalam Mawdhu’at-nya (45) mengatakan bahwa hadits ini mawdhu’. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (245) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Al Hasan bin Abi Yazid dan ia perowi matruk.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS al Hujurat:11).
Terkait dengan ayat ada dua catatan kaki yang ada dalam terjemah DEPAG RI yaitu:
1. Jangan mencela dirimu sendiri, maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
2. Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti hai fasik, hai kafir dan sebagainya.
Ahmad ash Shawi al Maliki mengatakan, “Makna ayat adalah janganlah seorang itu mengolok-olok yang lain karena boleh jadi pihak yang diolok-olok itu lebih agung dan mulia dibandingkan pihak yang mengolok-olok. Ringkasnya tidaklah pantas muslim mengolok-olok saudaranya seagama bahkan semua makhluk ciptaan Allah. Boleh jadi yang diolok-olok itu lebih hatinya lebih ikhlas dan lebih bertakwa dibandingkan yang mengolok-olok. Para salaf shalih sangat luar biasa dalam melaksanakan kandungan ayat ini. Ada salah seorang salaf yang mengatakan, ‘Jika aku melihat seorang yang menetek pada anak kambing lalu aku mentertawakannya tentu aku merasa khawatir andai aku melakukan apa yang dia lakukan’.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan, ‘Bencana itu terjadi gara-gara ucapan lisan. Andai aku mengolok-olok seekor anjing tentu aku khawatir kalau aku diubah menjadi seekor anjing’ (Hasyiyah ash Showi ‘ala Tafsir al Jalalain 4/143, terbitan Dar al Fikr).
Syeikh Abdurrahman as Sa’di mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang sebagian hak seorang mukmin dengan mukmin yang lain. Yaitu janganlah sekelompok orang mengejek sekelompok yang lain baik dengan kata-kata ataupun perbuatan yang mengandung makna merendahkan saudara sesama muslim. Perbuatan ini terlarang dan hukumnya haram. Perbuatan ini menunjukkan bahwa orang yang mengejek itu merasa kagum dengan dirinya sendiri. Padahal boleh jadi pihak yang diejek itu malah lebih baik dari pada pihak yang mengejek. Bahkan inilah realita yang sering terjadi. Mengejek hanyalah dilakukan oleh orang yang hatinya penuh dengan akhlak yang tercela dan hina serta kosong dari akhlak mulia. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seorang itu dinilai jahat jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim” (HR Muslim dari Abu Hurairah)” [Taisir al Karim al Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan hal 953, terbitan Dar Ibnul Jauzi].
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Jika telah diketahui bahwa manusia itu bertingkat-tingkat. Di antaranya manusia itu bertingkat-tingkat dalam masalah ilmu. Sebagian orang itu lebih berilmu daripada yang lain dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu alat yang sangat membantu untuk mengusai ilmu agama semisal ilmu-ilmu tentang bahasa Arab sebagaimana nahwu, balaghah dan yang lainnya.
Manusia itu juga bertingkat-tingkat dalam masalah rizki. Ada yang diberi rezki yang melimpah. Ada pula yang diberi rezki pas-pasan.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam akhlak. Ada yang memiliki akhlak luhur dan mulia, ada pula yang tidak demikian.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah bentuk fisik. Ada yang fisiknya sempurna, ada juga yang tidak.
Manusia juga bertingkat-tingkat dalam masalah status sosial. Ada yang status sosialnya tinggi, ada pula yang biasa-biasa saja.
Apakah seseorang diperbolehkan untuk mengejek orang yang lebih rendah dalam berbagai hal di atas?
Jawabannya adalah firman Allah di atas.
Allah memanggil kita dengan nama iman agar sebagian dari kita tidak mengejek sebagian yang lain. Yang melebihkan sebagian orang atas yang lainnya adalah Allah. Sehingga konsekuensi dari mengejek orang yang lebih rendah adalah mengejek takdir Allah.
Hal ini diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ ».
Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Janganlah kalian mencela waktu karena Allahlah yang mengatur berjalannya waktu” (HR Muslim no 6003).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ».
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Manusia menyakitiku. Manusia mencaci waktu padahal aku adalah pengatur waktu. Akulah yang memperjalankan malam dan siang” (HR Bukhari no 4549 dan Muslim no 6000).
Mengapa kita ejek orang yang lebih rendah dibandingkan kita dalam masalah ilmu agama, harta, akhlak, kondisi fisik, status sosial, dan nasab? Bukankah di samping Allahlah yang memberikan anugrah kepada kita, Dia juga yang menakdirkannya untuk berada di bawah kita, dalam pandangan kita, dalam banyak hal?
Mengapa Allah melarang kita mengejek orang lain?
Jawabannya adalah betapa banyak orang yang pada saat ini mengejek orang lain, dalam lain kesempatan menjadi bahan ejekan. Betapa banyak orang yang saat ini pada posisi ‘berada’, esok hari berada pada posisi orang papa. Ini adalah suatu hal yang bisa kita saksikan dalam realita.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ ». قَالَ أَحْمَدُ مِنْ ذَنْبٍ قَدْ تَابَ مِنْهُ.
Dari Muadz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang mencela saudaranya sesama muslim karena sebab dosa yang pernah dia lakukan maka orang yang mencela tersebut tidak akan mati sampai melakukannya”. [*]
Ahmad bin Mani’, salah seorang perawi hadits, “Yang dimasudkan adalah dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya” (HR Tirmidzi no 2505 namun dinilai oleh al Albani sebagai hadits palsu).
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ ».
Dari Watsilah bin al Asqa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menampakkan rasa gembira saat saudaramu sesama muslim menderita kesusahan. Hal itu menjadi sebab Allah menyayanginya dan menimpakan cobaan pada dirimu” (HR Tirmidzi no 2506. Hadits ini dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi namun dinilai lemah oleh al Albani).
Adalah kewajiban setiap orang untuk mempraktekkan adab yang telah Allah ajarkan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 37-38, terbitan Dar Tsuraya).
[*] Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (3/277) mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Ash Shoghoni dalam Mawdhu’at-nya (45) mengatakan bahwa hadits ini mawdhu’. Adz Dzahabi dalam Tartib Al Mawdhu’at (245) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Al Hasan bin Abi Yazid dan ia perowi matruk.
Doa Qunut pada shalat shubuh
“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”
(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah. Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab. Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan. Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”
(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).
Jumat, 01 Januari 2010
Kisah Penuh Hikmah : Penebang Kayu
Di sebuah desa, ada seorang penebang kayu, yang dibayar Rp 30.000,- per hari oleh seorang pengusaha, untuk jasanya menebang kayu. Setelah beberapa bulan bekerja, pengusaha merasa telah membayar penebang kayu tersebut dengan harga yang semakin mahal, tetapi hasil tebangan kayunya semakin menurun jumlahnya. Dengan negosiasi yang alot akhirnya penebang kayu itu menerima penurunan upahnya menjadi Rp 20.000,- Waktu berselang enam bulan, pengusaha tersebut berkembang usahanya, sehingga ia perlu menambah satu orang penebang kayu lagi. Sama dengan penebang kayu yang pertama, penebang kayu kedua juga dibayar Rp 20.000,- per hari. Setelah satu bulan, pengusaha tersebut menaikkan upah harian penebang kayu kedua, tetapi tidak menaikkan upah penebang kayu yang pertama. Tentu saja penebang kayu yang pertama protes. Bagaimana mungkin seorang pekerja yang baru satu bulan upahnya sudah dinaikkan, tetapi pekerja yang sudah bekerja tujuh bulan, gajinya tidak dinaikkan bahkan diturunkan.
Ternyata pengusaha itu mempunyai alasan yang cukup kuat. Penebang kayu yang kedua, mampu mempertahankan produktivitasnya. Setiap hari, ia mampu menebang kayu yang jumlahnya relatif sama setiap hari. Lain halnya dengan penebang kayu yang pertama. Sejak awal ia bekerja, sampai masa kerjanya tujuh bulan, hasil tebangan kayunya semakin menurun dari hari ke hari.
Penebang kayu yang pertama tidak percaya dengan data yang diberikan oleh si pengusaha. Untuk itu, ia minta hasil tebangan masing-masing dikumpulkan pada lokasi yang berbeda, sehingga ia bisa melihat dan membuktikan bahwa hasil tebangan penebang kayu yang pertama memang lebih banyak jumlahnya daripada hasil tebangannya.
Pengusaha setuju dengan permintaan penebang kayu yang pertama. Ia memberi waktu satu minggu bagi penebang kayu yang pertama untuk melakukan apa yang dimintanya. Setelah satu minggu, akhirnya si penebang kayu yang pertama bisa membuktikan bahwa hasil tebangan penebang kayu yang kedua lebih banyak daripada hasil tebangannya sendiri.
Selanjutnya, pengusaha menyarankan agar penebang kayu pertama belajar dan menanyakan resep sukses penebang kayu kedua dalam mempertahankan produktivitasnya. Saran itu diikuti oleh penebang kayu. Datanglah ia kepada penebang kayu kedua. Ia bertanya banyak hal. Ia melihat bagaimana penebang kayu kedua. Satu hal yang menurutnya bisa menjaga konsistensi produksi penebang kedua, adalah bahwa dalam waktu satu hari, penebang kayu kedua mengambil waktu istirahat dua kali, yaitu pada tengah hari dan ketika sore hari. Sebenarnya ia juga beristirahat pada waktu yang sama, tetapi apa yang dilakukan pada saat istirahat itu, benar-benar berbeda. Penebang kayu pertama, ketika beristirahat memang benar-benar beristirahat, makan dan minum. Tetapi penebang kayu kedua, selain makan, minum dan istirahat, ia juga mengasah kapaknya. Dan mengasah kapak, adalah bagian esensial yang menyebabkan penebang kayu kedua mampu mempertahankan produktivitasnya.
Dunia ini selalu berubah. Setiap hari selalu saja keluar penemuan-penemuan baru, cara-cara baru, dan mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Pengalaman kami selama ini menunjukkan bahwa bukan yang terkuat yang bisa bertahan hidup, bukan yang terbesar ataupun yang terbuas. Makhluk yang mampu bertahan hidup adalah makhluk yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.
Itulah sebabnya, asah kapak anda. Lakukan sesuatu yang berbeda dalam cara anda menjual, sehingga hasil yang anda peroleh pun akan berbeda. Coba identifikasi apa yang sudah anda lakukan, dan analisis hasilnya. Setelah itu, lakukan perubahan pada satu atau dua hal dari cara yang anda lakukan, kemudian analisis kembali hasilnya. Kalau hasilnya lebih buruk, ubah lagi caranya. Kalau hasilnya baik, lakukan terus perubahan ke arah yang lebih baik, sampai tujuan anda tercapai.
Mudah-mudahan ada manfaatnya. Semoga Allah Memberkahi Kehidupan Kita
(Disadur dari Bunda Lucy, Superparenting 1)
Ternyata pengusaha itu mempunyai alasan yang cukup kuat. Penebang kayu yang kedua, mampu mempertahankan produktivitasnya. Setiap hari, ia mampu menebang kayu yang jumlahnya relatif sama setiap hari. Lain halnya dengan penebang kayu yang pertama. Sejak awal ia bekerja, sampai masa kerjanya tujuh bulan, hasil tebangan kayunya semakin menurun dari hari ke hari.
Penebang kayu yang pertama tidak percaya dengan data yang diberikan oleh si pengusaha. Untuk itu, ia minta hasil tebangan masing-masing dikumpulkan pada lokasi yang berbeda, sehingga ia bisa melihat dan membuktikan bahwa hasil tebangan penebang kayu yang pertama memang lebih banyak jumlahnya daripada hasil tebangannya.
Pengusaha setuju dengan permintaan penebang kayu yang pertama. Ia memberi waktu satu minggu bagi penebang kayu yang pertama untuk melakukan apa yang dimintanya. Setelah satu minggu, akhirnya si penebang kayu yang pertama bisa membuktikan bahwa hasil tebangan penebang kayu yang kedua lebih banyak daripada hasil tebangannya sendiri.
Selanjutnya, pengusaha menyarankan agar penebang kayu pertama belajar dan menanyakan resep sukses penebang kayu kedua dalam mempertahankan produktivitasnya. Saran itu diikuti oleh penebang kayu. Datanglah ia kepada penebang kayu kedua. Ia bertanya banyak hal. Ia melihat bagaimana penebang kayu kedua. Satu hal yang menurutnya bisa menjaga konsistensi produksi penebang kedua, adalah bahwa dalam waktu satu hari, penebang kayu kedua mengambil waktu istirahat dua kali, yaitu pada tengah hari dan ketika sore hari. Sebenarnya ia juga beristirahat pada waktu yang sama, tetapi apa yang dilakukan pada saat istirahat itu, benar-benar berbeda. Penebang kayu pertama, ketika beristirahat memang benar-benar beristirahat, makan dan minum. Tetapi penebang kayu kedua, selain makan, minum dan istirahat, ia juga mengasah kapaknya. Dan mengasah kapak, adalah bagian esensial yang menyebabkan penebang kayu kedua mampu mempertahankan produktivitasnya.
Dunia ini selalu berubah. Setiap hari selalu saja keluar penemuan-penemuan baru, cara-cara baru, dan mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Pengalaman kami selama ini menunjukkan bahwa bukan yang terkuat yang bisa bertahan hidup, bukan yang terbesar ataupun yang terbuas. Makhluk yang mampu bertahan hidup adalah makhluk yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.
Itulah sebabnya, asah kapak anda. Lakukan sesuatu yang berbeda dalam cara anda menjual, sehingga hasil yang anda peroleh pun akan berbeda. Coba identifikasi apa yang sudah anda lakukan, dan analisis hasilnya. Setelah itu, lakukan perubahan pada satu atau dua hal dari cara yang anda lakukan, kemudian analisis kembali hasilnya. Kalau hasilnya lebih buruk, ubah lagi caranya. Kalau hasilnya baik, lakukan terus perubahan ke arah yang lebih baik, sampai tujuan anda tercapai.
Mudah-mudahan ada manfaatnya. Semoga Allah Memberkahi Kehidupan Kita
(Disadur dari Bunda Lucy, Superparenting 1)
Langganan:
Postingan (Atom)